Sunday, March 1, 2009

Mengembalikan Peran Wanita:

diantara bias gender, dan emansipasi kebablasan

Semboyan R.A Kartini Door Duisternis tot Licht yang dialih bahasakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, menjadi begitu bergema bagi kalangan perempuan baik di tanah air maupun sentero dunia. Semboyan tersebut lahir sebagai wujud lahirnya sebuah gerakan pembebasan hak wanita dari “pengisolasian gender” dalam tataran tradisi dan budaya yang kelewat mensubordinasikan keberadaan mereka di tengah-tengah kehidupan sosial.

Keberadaan wanita di tengah-tengah masyarakat seolah menjadi salah satu problem yang tidak pernah tuntas didiskusikan, ia seolah menjadi isu sosial yang menarik sejak zaman dahulu hingga saat ini. Masalah itu tetap tidak akan pernah tuntas, selama wanita diperlakukan dan memperlakukan dirinya dengan menyalahi fitrah serta hukum tuhan yang berdasarkan keadilan dalam melindungi dan memposisikan mereka.

Diskriminasi Kaum Perempuan

Diskriminasi terhadap kaum perempuan menurut Ika Yunia F telah terjadi semenjak masa pra-Islam dahulu kala, dimulai dengan sejarah klasik Mesopotamia (3500-2400 SM), dimana ciri masyarakat ketika itu masih bersifat egaliter, pada tahun 1000 SM muncul kode Hamurabi dimana ketentuan-ketentuan khusus yang sifatnya membatasi perempuan sudah mulai dibatasi. Selanjutnya muncul kerajaan Assiria (612 SM), bahkan hingga kerajaan Achemid (550-331 SM) dan kekuasaan Alexander Agung sebagai cikal bakal munculnya Romawi-Bizantium dan kerajaan Sasania-Persia, perlindungan terhadap kaum perempuan pada saat itu belum ada kemajuan, malah pemenuhan hak-hak mereka semakin terpojok dan tersubordinasikan dari kaum laki-laki.

Bahakan munculnya nilai-niali relegius yang bersumber dari kitab-kitab suci setelah lahirnya agama-agama samawi ( seperti kitab perjanjian lama, perjanjian baru dan Talmud) sama sekali tidak merubah dogma mereka terhadap kaum perempuan, sebaliknya kitab-kitab tersebut masih mepresepsikan perempuan seolah jenis kelamin kedua yang harus tunduk di bawah otoritas kaum laki-laki.

Masih terngiang bagaimana mereka mendeskriditkan posisi wanita, sebagimana yang dikatakan pendeta Paus Tertulianus misalnya, “Wanita merupakan pintu gerbang syeitan, masuk ke dalam diri laki-laki untuk merusak tatanan Ilahy dan mengotori wajah Tuhan yang ada pada laki-laki.” Sedangkan Paus Sustam mengatakan, “Wanita secara otomatis membawa kejahatan, malapetaka yang mempunyai daya tarik, bencana terhadap keluarga dan rumah tangga, kekasih yang merusak serta malapetaka yang menimbulkan kebingunggan”.
Lahirnya Pergerakan Permpuan

Atas perlakuan tak seimbang dan pengalaman pahit itulah gerakan pemebebasan wanita tak henti-hentinya disuarakan, pergerakan tersebut bergulir bak bola salju di tenah-tengah hiruk pikuk kehidupan sosial. Gerakan emansipasi sendiri sebagai salah satu gerakan pembebasan wanita dari perbudakan yaitu suatu gerakan untuk memperoleh persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum; pengakuan kesamaan hak, derajat, kedudukan dan kesetaraan gender, pada mulanya telah tumbuh sejak abad ke-XX, dalam-Feminist political Teory, Valey Byrson menyebutkan bahwa gerakan tersebut telah ada semenjak abad pertengahan. Tahun 1364-1430 Cristian de Pisan telah menulis hak-hak kewajiban perempuan, lalu lewat pemikiran penulis Mesir, 'Aisyah Taymuriyah, Huda Sya'rawi, Malak Hifniqasim Amin dan Nawal Sa'dawi. Zaenab Fawwaz dari Libanon, Fatima Ali dari Turki serta Nawawiyah Musa dan R.A Kartini di Indonesia.

Meski telah banyak tokoh wanita yang memperjuangkan pergerakan ini, namun pada mulanya Propaganda gerakan tersebut muncul dari pihak laki-laki dan hanya sedikit saja peran wanita. Awalnya gerakan emansipasi hanyalah seruan kepada pemerintah untuk memperhatikan kesempatan pendidikan akademis bagi kaum perempuan, namun sayannya seiring dengan banyaknya pengaruh serta stigma negatif yang menyertainya, gerakan emansipasi seolah menjadi gerakan yang kehilangan arah, hal itu tentunya sengaja di buat oleh beberapa kalangan yang ingin memanfaatkan peran wanita dengan memanfaatkan serta merubah orientasi gerakan tersebut menjadi suatu gerakan yang kebablasan.

Dalam sejarah perjalanan umat manusia, sikap ambivalen terhadap posisi wanita tidak pernah berakhir. Barat contohnya, hal ini merupakan provokasi dari kaum sekular, pemahaman salah dari agama -agama ghairul Islam (non Islam) filsafat serta kepentingan politik.
Belum lagi posisi wanita yang sering kali dimanfaatkan secara komersil di berbagi ruang lingkup khussunya media-massa, sebagaimana Yvone Ridley seorang jurnalis Ingris yang kini menjadi seorang feminis Islam menungkapkan “dalam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, wanita telah menjadi komoditas alias barang yang diperjual-belikan. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang. Barang jenis industri mutakhir seperti mode, kosmetik dan hiburan, hampir sepenuhnya memanfaatkan 'jasa' wanita. Pendidikan dan media masa mereka menampilkan citra wanita yang penuh glamour—sensual dan fisikal. Dengan kata lain, penuh sensasi, dan tentu nggak ketinggalan, bodi!. Emansipasi; (Madu atau Racun), dalam ari kata Kesetaraan gender yang disuarakan barat hanyalah sebuah perbudakan wanita di balik eufisisme pemasaran”. Tulisnya.
Yang tak habis pikir, barat yang dengan getol menyuarakan emansipasi dan kesetaraan gender, serta menuduh Islam sebagi biang diskriminasi wanita, justru menurut data statistik dari National Domestic Violence Hotline, 4juta perempuan Amerika serikat mengalami serangangan serius oleh pasangan mereka dalam rentan waktu 12 bulan dan lebih dari tiga orang perempuan dibunuh oleh para suami dan pacar mereka setiap hari. Menyeramkan!, Hal ini menunjukan keagalan hukum serta sebagai bentuk kesia-siaan atas apa yang mereka perjuangkan selama ini.

Islam Menjunjung Tinggi Wanita

Wanita dianugrahi Tuhan dengan kelembutan, perasaan dan tutur kata yang halus serta paras cantik yang tidak dimiliki kaum laki-laki. Hal inilah tentunya yang menjadikan kelebihan serta daya tarik mereka. Namun tampaknya Tuhan sebagai maha pencipta, lebih mengerti pada fitrah, potensi, sifat, psikologis, serta kecenderungan yang mereka miliki, dengan demikian tuhan lebih tahu bagaimana memposisikan wanita dalam kehidupan tentunya atas dasar keadilan. Dan semua seutuhnya tertuang dalam risalah Islam.

Islam semenjak 1400 tahun silam telah mengangkat drajat wanita dari keburukan/perbudakan Jahiliah (Q.S.03:195), mensetarakannya dengan laki-laki khususnya dalam hal iman dan taqwa (Q.S.04:01), memberikanya hak waris (Q.S 04: 11), persaksian (Q.S.02:282), memeberinya hak pendidikan, keringanna dalam beribadah, tidak mewajibkanya mencari nafkah dan lebih cenderung memposisikan peranya dalam menata keluarga mendidik anak-anak sebagi tunas bangsa dan agama. Dan yang tak kalah menarik Islam berani memposisikan wanita sebagi tiang negara !. Sebagaimana Yvone menanggapi hal ini “nampaknya segala yang diperjuangkan oleh kaum feminis pada dasawarsa 1970-an ternyata sudah didapat oleh para perempuan Muslim semenjak 1400 tahun silam” tulisnya.

Memang ada permpuan-perempuan tertindas di negara-negara Muslim, tapi perempuan-perempuan tertindas juga ada di tepi jalan, di Amerka, Francis, Inggris dan lainya, bahkan lebih parah. Namun yang harus di garis bawahi bahwa apapun bentuk penindasan terhadap kaum perempuan, itu berasal dari kultur/budaya setempat dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Barat dengan nada angkuh dan sok kuasa seringkali menyalah-nyalahkan Islam. Padahal ada perbedaan mendasar antara tingkah laku kultural dan ajaran Islam. Walahualam.






















MABAKU MALANG BERULANG-ULANG

Permasalahan Maba yang tak kunjung selesai, bagaikan aliran sungai yang sulit dibendung. Mekanisme perekrutan Camaba yang ada selama ini, ternyata belum cukup menyatukan instansi-instansi terkait yang mengklaim sama-sama memiliki hak mandat Al-Azhar untuk mendatangkan mahasiswa baru. Lantas bagaiamana nasib mereka hingga saat ini?, lalu apa dibalik disharmonisasi birokrasi dua instansi terkait? Usaha apakah yang dilakukan Pihak KBRI dan PPMI untuk menanggulangi permasalahan ini? Simak laporan Sane sundani di TeROBOSAN dan Blog ini dari lapangan.

Daroji dan Nadi kawan satu pesantrenya, keduanya memakai nama samaran, berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes penerimaan calon Mahasiswa penerima beasiswa Al-Azhar yang diadakan oleh Kedutaan Mesir di Jakarta, mereka sebelumnya mendapatkan informasi dari seorang ustadz utusan Al-Azhar yang ditugaskan mengajar di pesantren tempat mereka mengaji. Singkat cerita, setelah adanya pengumuman kelulusan, keduanya dinyatakan lulus mengikuti tes seleksi yang diadakan Kedutaan Mesir dalam lima gelombang.

Malang nasib mereka, pihak Kedutaan hanya bersedia memberikan visa tanpa bersedia memberikan biaya tiket pemberangkatan, pihak Kedutaan malah menuyuruh mereka untuk meminta biaya tiket dari Depag RI. Akhirnya atas saran Kedutaan tersebut, keduanya bersama teman-teman yang lain berangkat ke kantor Depag untuk meminta biaya tiket pemberangkatan. Beruntung bagi Nadi, pihak Depag yang masih memiliki quota bagi colon Siswa Ma’had, memberinya baiaya tiket sebesar Rp 5 juta untuk pemeblian tiket seharga 6 juta rupiah. Namun, malang bagi Daroji dan kawan-kawanya yang ingin masuk kuliah, Bukan gayung bersambut, pihak Depag RI menolak untuk menanggung biaya tiket pemberangkatan calon penerima beasiswa Al-Azhar yang bukan melalui Depag. Mungkin karena minimnya anggaran dana, sebagaimana di jelaskan Presiden PPMI Abdullah Yazid kemarin “hal itu terlihat dari bantuan tiket yang diberikan kepada 28 calon mahasiswa beasiswa Depag yang hanya diberi bantuan harga tiket sebesar Rp 3,8 juta, setengah dari harga tiket” ujarnya kepada TeROBOSAN.

Dengan hasil mengecewakan akhirnya meraka kembali ke Kedutaan untuk meminta pertanggung jawaban. Setelah pihak Kedutaan mengetahui perihal tersebut, kemudian sebagai reaksi, pihak Kedutaan menolak memberikan visa entry bagi calon Mahasiswa yang lulus melalui tes Depag, bahkan pihak kedutaan sendiri malah sempat menahan sebagian paspor milik mereka. Dilain pihak, Daroji dan teman-temanya yang lulus melalui tes kedutaan, selalu dianjurkan untuk meminta tiket pemberangkatan dari Depag, malah anjuran tersebut bernada ancaman “"jangan sampai kalian membeli tiket sendiri sebelum diberi oleh pihak Depag, kalau tidak kalian tidak akan diberangkatkan !" kata Daroji dengan mimik serius menirukan petugas Kedutaan.

Setelah melalui proses negosiasi, pihak kedutaaan akhirnya mengalah dan bersedia memberikan visa entry bagi calon Mahsiswa Beasiswa Depag, walaupun bagi non beasiswa sampai saat ini masih belum jelas, akhirnya, Daraoji beserta tema-temannya yang lain, benar-benar tidak bisa mendapatkan biaya tiket pemberangkatan dari Depag.

Permasalahan tidak berhenti sampai disana, sesampainya Daroji di Mesir, dia tidak bisa langsung menikmati bangku perkuliahan, alasanya Daroji tidak membawa ijazah serta berkas-berkas sebagaimana persyaratan masuk kuliah, karena pihak Kedutaan yang menyeleksianya, samasekali tidak memberitahukan persyaratan ini. sebaliknya dengan Nadi, niat awal masuk Ma’had malah terdaftar di Fakultas Ushuluddin. Akhirnya, keduanya sama-sama harus puas menikamti bangku Dirasah Khasah, menunggu datangnya berkas dan izajah dari Indonesia.

Baik Depag RI maupun pihak Kedutaan Mesir di Indonesia, keduanya sama-sama memiliki hak mandat dari Al-Azhar untuk merekrut calon mahasiswa baru yang akan memperoleh beasiswa al-Azhar, akan tetapi Depag sendiri telah mengadakanya sejak tahun 90-an silam. Permaslahan justru muncul pada tahun ajaran 2007-2008 tahun kemarin, ketika kedutaan Mesir ingin ikut menyeleksi hasil penyeleksian dari Depag yang berjumlah 90 orang, dan meluluskan 45 orangnya saja, sementara itu Depag sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan penyeleksian kembali oleh pihak Kedutaan, yang membuat Depag tidak “srek” istilah Pak Abdullah, adalah pihak kedutaan yang mencari sisa/tambahan dari 45 camaba secara sepihak tanpa berkoordinasi dengan Depag, Kedutaan sendiri malah melimpahkan biaya tiket pemberangkatan ke Depag.

Pak Abdullah yang duduk bersama pak Mukhlason, saat dimintai keterangan di kantornya, mewakili Atase Pendidikan yang baru saja pulang ke Indonesia, mengatakan “Serieus Missunderstanding” ungkapnya menirukan istilah Pak Dubes yang disampaikan saat pertemuan dengan pejabat Kemlu untuk menekan pemerintaha Mesir. “Karena tidak ada sistem kemudian ada semacam satu mekanisme yang terbentur sehingga masing-masing merasa berhak dan merasa benar” ujarnya.

Perekrutan Camaba yang dilakukan secara sepihak selama dua tahun berturut-turut oleh kedua instansi, seolah mengisyaratkan adanya semacam krisis kepercayaan antara kedua pihak, bahkan kejadian ini, untuk yang kedua kalinya, “Intinya di ketidak jelasan prosedur, kedua pihak sama-sama merasa berhak mendapat mandat dari Al-Azhar untuk merekrut Mahasiswa Baru” kata Pak Abdullah menambahkan.

Terlepas dari adanya kerisis kepercayaan atau tidak, hingga saat ini Kedutaan Mesir di Indonesia belum memenuhi permintaan visa entry bagi Camaba non beasiswa sepenuhnya, merujuk pada laporan yang di terima Presiden PPMI dalam pertemuan dengan mitra mediator, Ahad 15/02/09 bertempat di Wisma Nusantara, mengatakan “ sampai saat ini ada 293 Maba yang telah mendapatkan Muwafaqah Amin Qaum, selanjutnya akan dikirim ke Jakarta melalui Kementrian Luar Negri sebagai persyaratan untuk mendapatkan Visa entry” terangnya.

Penundaan pemberian Visa entry oleh pihak kedutaan sebenarnya tidak terlepas dari dua persyaratan yang ditetapkan pihak kedutaan yang harus dipenuhi oleh setiap Camaba yaitu; Muwafaqah Amin Daulah dan Muwafaqah Amin Qaum. Hal ini sebagaimana ditetapkan pada Camaba beasiswa Depag dan Kedutaan. Malangnya proses Muwafaqah Amin Qaum bagi non beasiswa mengalami keterlamabatan, sehingga otomatis menghambat pemberian visa entry dari Kedutaan.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, Muwafaqah Amin Qaum bagi Camaba non beasiswa, tidak menjadi persyaratan mutlak sebagaimana muwafaqah Amin Daulah. artinya jika terjadi keterlambatan penetapan Muwafaqah Amin Qaum-pun tidak akan mempengaruhi pemberian visa entry di kedutaan. Namun tahun ini secara tiba-tiba pihak kedutaan menetapkan persyaratan diatas, “ kebijakan kedutaan Mesir di Jakarta sangat mendadak dan belum disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Bagian Pnedaftaran Mahasiswa Baru Universitas al-Azhar” ungkap Yazid, Presiden PPMI priode 2008-2009 ini menyayangkan.

Hingga saat ini baik KBRI maupun PPMI telah berusaha mencari solusi dari permasalahn ini, sebagaimana di kutip dalam Press Release PPMI, diantaranya, tanggal 15 Oktober 2008, PPMI mengadakan audiensi dengan Duta Besar RI Bapak Drs. AM. Fachir. Pada saat yang bersamaan Pak Dubes menghubungi Duta Besar di Jakarta berkenaan dengan permasalahan calon Mahasiswa Baru. Akhir bulan November, PPMI menghadap Rektor Unv. Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thoyyib guna melayangkan surat permohonan untuk membantu mempercepat pengeluaran visa entry bagi calon Mahasiswa Baru. Tanggal 28 september, PPMI memberikan kronologi permasalahan tidak dikeluarkanya visa entry bagi calon Mahasiswa Baru kepada Universitas Al-Azhar melalui Direktorat Pengasuhan Mahasiswa Asing Prof. Dr. Hamid Abu Thalib. Setelah itu, tanggal 7 Januari 2009, PPMI menghadap pembantu Rektor Bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Al-Azhar Prof. Dr. Abdul Fadel guna membicarakan permasalahn calon Mahsiswa Baru.

Hingga berita ini diturunkan belum ada pernyataan kapan dan pastinya calon Mahasiwa non Beasiswa bisa di berangkatkan “kita tidak bisa memastikan, namun sudah ada penekanan dan akan berkoordinasi dengan pihak Dubes di Jakarta”, tutur Pak Abdullah, saat di wawancarai.









.




Hasrat Untuk Berubah

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
aku bermimpi ingin mengubah dunia
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku
Kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah
Maka cita-cita itu pun agak kupersempit
Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku
Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya
Ketika usiaku telah semakin senja,
dengan semangatku yang masih tersisa
kuputuskan untuk mengubah keluargaku,
orang-orang yang paling dekat denganku
Tetapi celakanya, mereka pun tak mau diubah
Dan kini,
Sementara aku berbaring saat ajal menjelang
Tiba-tiba kusadari: Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,
maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan
mungkin akan bisa mengubah keluargaku
lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku
kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia
(Puisi ini tertulis di sebuah makam di Westminster, Inggris

Rangkaian puisi diatas sangat begitu menyentuh, seolah-olah dia mengingatkan kita, mengingatkan setiap remaja seusia dengan kita atau malah setiap orang yang pernah memiliki cita-cita dan pernah tertanam dalam jiwanya semangat muda untuk memperbaharui dunia.
Cita-cita..ya dialah cita-cita, yang selalu menemani otak kiri kita, mempengaruhi kita, mengajak, bahkan mendorong kita untuk selalu bergerak serta banyak berkarya.

Benar manusia diciptakan dengan serba kekurangan, yaitu kekurangan yang menjadikanya serba kesulitan dan selalu berkecil hati, namun untungnya manusia masih diberi akal dan hati, sehingga dengan keduanya manusia banyak diberi petunjuk dan arahan, dengannya manusia mampu berpikir, menimbang lalu meperhitungkan.

Sikap manusia yang cerdas adalah mereka yang selalu bersyukur atas keberadaan hati dan akal pada diri dan jiwanya, sehingga ia selalu mengoptimalkan keduanya dengan sebaik-baiknya, bahkan, itupun belumlah cukup karena manusia harus mampu menyeimbangkan antara presepsi keinginan hati atas pertimbangan akal.

Cita-cita untuk berubah dan merubah disekitarnya adalah hal yang sangat manusiawi, karena keinginan itu muncul karena adanya presepsi hati dan pertimbangan akal.

Dengan akal, manusia mampu berpikir kritis, membaca ihwal serta mengamati setiap kejadian dan peristiwa. Dia akan bergerak kencang saat dia menemukan suatu peristiwa yang berbeda dari kebiasanya, atau sesuatu yang jauh dari alam sadarnya sehingga memberikan informasi yang berbeda, maka tertanamlah dalam dirinya keingin tahuan, sementara isi hati mendorongnya untuk selalu bertanya, mempelajari dan banyak membaca.

Disinilah letaknya pintu perubahan itu, yaitu saat dia memerdekakan dirinya dari kekerdilan dan kebodohan, tentunya dengan memperbanyak wawasan dan pengalaman, mau memulai serta merubah setiap kebiasaan-kebiasaan semasa bodohnya.

Yaitu saat seorang bayi baru berlatih merangkak saat melihat kedua orang tuanya yang mampu berjalan. Yaitu saat seorang murid bertanya kepada gurunya saat dia tidak mampu memahami pelajaran yang guru sampaikan. Saat kita bertanya siapa Tuhan kita? lalu Nabi diutus dan Alam sepakat untu menjadi ayat-ayatnya, lalu kita bertanya kepada Tuhan mengapa langit mendung lalu turunkan hujan?, serta setiap peristiwa yang mempengaruhi akal dan hati manusia untuk bergerak mengolah saraf serta data-datanya.

Bayangkan jika seorang bayi hidup disatukan dengan komunitas bayi yang lain, tanpa ada satupun yang mengajarinya berjalan, bicara atau merangkak sekalipun. Bayangkan jika seorang guru acuh terhadap pertanyaan muridnya, lalu bayangkan jika Tuhan enggan mengajari makhluknya-siapa Tuhan manusia yang sebenarnya..! Namun, untunglah peristiwa itu tak pernah ada dalam catatan sejarah, jikapun ada, mereka hanya sekelompok kecil manusia yang tertutup akal dan hatinya atau mereka yang belum tau arti pentingnya perubahan. Yaitu, perubahan yang kita mulai dari diri kita sendiri, merangkak mulai dari lingkungan terkecil berjalan ke arah yang lebih luas hingga tercipta sebuah Universitas Stereotipe yang baru. Mungkin saja kesadaran bisa datang dari mana saja, tetapi melaksanakan apa yang telah disadari hanya datang dari diri sendiri.

Marilah kita sama-sama bergerak dan berkarya agar menjadi pembaharu dan bukan hanya menanti perubahan. Menjadi juru kunci sejarah dan bukan sekedar pembaca sejarah. Pepatah mengatakan "tak mengapa seseorang tidak mengerjakan sesuatu, asal segera ia berhenti bermimpi, bercita-cita tentang sesuatu" walahua'lam