Sunday, March 1, 2009

Mengembalikan Peran Wanita:

diantara bias gender, dan emansipasi kebablasan

Semboyan R.A Kartini Door Duisternis tot Licht yang dialih bahasakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, menjadi begitu bergema bagi kalangan perempuan baik di tanah air maupun sentero dunia. Semboyan tersebut lahir sebagai wujud lahirnya sebuah gerakan pembebasan hak wanita dari “pengisolasian gender” dalam tataran tradisi dan budaya yang kelewat mensubordinasikan keberadaan mereka di tengah-tengah kehidupan sosial.

Keberadaan wanita di tengah-tengah masyarakat seolah menjadi salah satu problem yang tidak pernah tuntas didiskusikan, ia seolah menjadi isu sosial yang menarik sejak zaman dahulu hingga saat ini. Masalah itu tetap tidak akan pernah tuntas, selama wanita diperlakukan dan memperlakukan dirinya dengan menyalahi fitrah serta hukum tuhan yang berdasarkan keadilan dalam melindungi dan memposisikan mereka.

Diskriminasi Kaum Perempuan

Diskriminasi terhadap kaum perempuan menurut Ika Yunia F telah terjadi semenjak masa pra-Islam dahulu kala, dimulai dengan sejarah klasik Mesopotamia (3500-2400 SM), dimana ciri masyarakat ketika itu masih bersifat egaliter, pada tahun 1000 SM muncul kode Hamurabi dimana ketentuan-ketentuan khusus yang sifatnya membatasi perempuan sudah mulai dibatasi. Selanjutnya muncul kerajaan Assiria (612 SM), bahkan hingga kerajaan Achemid (550-331 SM) dan kekuasaan Alexander Agung sebagai cikal bakal munculnya Romawi-Bizantium dan kerajaan Sasania-Persia, perlindungan terhadap kaum perempuan pada saat itu belum ada kemajuan, malah pemenuhan hak-hak mereka semakin terpojok dan tersubordinasikan dari kaum laki-laki.

Bahakan munculnya nilai-niali relegius yang bersumber dari kitab-kitab suci setelah lahirnya agama-agama samawi ( seperti kitab perjanjian lama, perjanjian baru dan Talmud) sama sekali tidak merubah dogma mereka terhadap kaum perempuan, sebaliknya kitab-kitab tersebut masih mepresepsikan perempuan seolah jenis kelamin kedua yang harus tunduk di bawah otoritas kaum laki-laki.

Masih terngiang bagaimana mereka mendeskriditkan posisi wanita, sebagimana yang dikatakan pendeta Paus Tertulianus misalnya, “Wanita merupakan pintu gerbang syeitan, masuk ke dalam diri laki-laki untuk merusak tatanan Ilahy dan mengotori wajah Tuhan yang ada pada laki-laki.” Sedangkan Paus Sustam mengatakan, “Wanita secara otomatis membawa kejahatan, malapetaka yang mempunyai daya tarik, bencana terhadap keluarga dan rumah tangga, kekasih yang merusak serta malapetaka yang menimbulkan kebingunggan”.
Lahirnya Pergerakan Permpuan

Atas perlakuan tak seimbang dan pengalaman pahit itulah gerakan pemebebasan wanita tak henti-hentinya disuarakan, pergerakan tersebut bergulir bak bola salju di tenah-tengah hiruk pikuk kehidupan sosial. Gerakan emansipasi sendiri sebagai salah satu gerakan pembebasan wanita dari perbudakan yaitu suatu gerakan untuk memperoleh persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum; pengakuan kesamaan hak, derajat, kedudukan dan kesetaraan gender, pada mulanya telah tumbuh sejak abad ke-XX, dalam-Feminist political Teory, Valey Byrson menyebutkan bahwa gerakan tersebut telah ada semenjak abad pertengahan. Tahun 1364-1430 Cristian de Pisan telah menulis hak-hak kewajiban perempuan, lalu lewat pemikiran penulis Mesir, 'Aisyah Taymuriyah, Huda Sya'rawi, Malak Hifniqasim Amin dan Nawal Sa'dawi. Zaenab Fawwaz dari Libanon, Fatima Ali dari Turki serta Nawawiyah Musa dan R.A Kartini di Indonesia.

Meski telah banyak tokoh wanita yang memperjuangkan pergerakan ini, namun pada mulanya Propaganda gerakan tersebut muncul dari pihak laki-laki dan hanya sedikit saja peran wanita. Awalnya gerakan emansipasi hanyalah seruan kepada pemerintah untuk memperhatikan kesempatan pendidikan akademis bagi kaum perempuan, namun sayannya seiring dengan banyaknya pengaruh serta stigma negatif yang menyertainya, gerakan emansipasi seolah menjadi gerakan yang kehilangan arah, hal itu tentunya sengaja di buat oleh beberapa kalangan yang ingin memanfaatkan peran wanita dengan memanfaatkan serta merubah orientasi gerakan tersebut menjadi suatu gerakan yang kebablasan.

Dalam sejarah perjalanan umat manusia, sikap ambivalen terhadap posisi wanita tidak pernah berakhir. Barat contohnya, hal ini merupakan provokasi dari kaum sekular, pemahaman salah dari agama -agama ghairul Islam (non Islam) filsafat serta kepentingan politik.
Belum lagi posisi wanita yang sering kali dimanfaatkan secara komersil di berbagi ruang lingkup khussunya media-massa, sebagaimana Yvone Ridley seorang jurnalis Ingris yang kini menjadi seorang feminis Islam menungkapkan “dalam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, wanita telah menjadi komoditas alias barang yang diperjual-belikan. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang. Barang jenis industri mutakhir seperti mode, kosmetik dan hiburan, hampir sepenuhnya memanfaatkan 'jasa' wanita. Pendidikan dan media masa mereka menampilkan citra wanita yang penuh glamour—sensual dan fisikal. Dengan kata lain, penuh sensasi, dan tentu nggak ketinggalan, bodi!. Emansipasi; (Madu atau Racun), dalam ari kata Kesetaraan gender yang disuarakan barat hanyalah sebuah perbudakan wanita di balik eufisisme pemasaran”. Tulisnya.
Yang tak habis pikir, barat yang dengan getol menyuarakan emansipasi dan kesetaraan gender, serta menuduh Islam sebagi biang diskriminasi wanita, justru menurut data statistik dari National Domestic Violence Hotline, 4juta perempuan Amerika serikat mengalami serangangan serius oleh pasangan mereka dalam rentan waktu 12 bulan dan lebih dari tiga orang perempuan dibunuh oleh para suami dan pacar mereka setiap hari. Menyeramkan!, Hal ini menunjukan keagalan hukum serta sebagai bentuk kesia-siaan atas apa yang mereka perjuangkan selama ini.

Islam Menjunjung Tinggi Wanita

Wanita dianugrahi Tuhan dengan kelembutan, perasaan dan tutur kata yang halus serta paras cantik yang tidak dimiliki kaum laki-laki. Hal inilah tentunya yang menjadikan kelebihan serta daya tarik mereka. Namun tampaknya Tuhan sebagai maha pencipta, lebih mengerti pada fitrah, potensi, sifat, psikologis, serta kecenderungan yang mereka miliki, dengan demikian tuhan lebih tahu bagaimana memposisikan wanita dalam kehidupan tentunya atas dasar keadilan. Dan semua seutuhnya tertuang dalam risalah Islam.

Islam semenjak 1400 tahun silam telah mengangkat drajat wanita dari keburukan/perbudakan Jahiliah (Q.S.03:195), mensetarakannya dengan laki-laki khususnya dalam hal iman dan taqwa (Q.S.04:01), memberikanya hak waris (Q.S 04: 11), persaksian (Q.S.02:282), memeberinya hak pendidikan, keringanna dalam beribadah, tidak mewajibkanya mencari nafkah dan lebih cenderung memposisikan peranya dalam menata keluarga mendidik anak-anak sebagi tunas bangsa dan agama. Dan yang tak kalah menarik Islam berani memposisikan wanita sebagi tiang negara !. Sebagaimana Yvone menanggapi hal ini “nampaknya segala yang diperjuangkan oleh kaum feminis pada dasawarsa 1970-an ternyata sudah didapat oleh para perempuan Muslim semenjak 1400 tahun silam” tulisnya.

Memang ada permpuan-perempuan tertindas di negara-negara Muslim, tapi perempuan-perempuan tertindas juga ada di tepi jalan, di Amerka, Francis, Inggris dan lainya, bahkan lebih parah. Namun yang harus di garis bawahi bahwa apapun bentuk penindasan terhadap kaum perempuan, itu berasal dari kultur/budaya setempat dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Barat dengan nada angkuh dan sok kuasa seringkali menyalah-nyalahkan Islam. Padahal ada perbedaan mendasar antara tingkah laku kultural dan ajaran Islam. Walahualam.






















MABAKU MALANG BERULANG-ULANG

Permasalahan Maba yang tak kunjung selesai, bagaikan aliran sungai yang sulit dibendung. Mekanisme perekrutan Camaba yang ada selama ini, ternyata belum cukup menyatukan instansi-instansi terkait yang mengklaim sama-sama memiliki hak mandat Al-Azhar untuk mendatangkan mahasiswa baru. Lantas bagaiamana nasib mereka hingga saat ini?, lalu apa dibalik disharmonisasi birokrasi dua instansi terkait? Usaha apakah yang dilakukan Pihak KBRI dan PPMI untuk menanggulangi permasalahan ini? Simak laporan Sane sundani di TeROBOSAN dan Blog ini dari lapangan.

Daroji dan Nadi kawan satu pesantrenya, keduanya memakai nama samaran, berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes penerimaan calon Mahasiswa penerima beasiswa Al-Azhar yang diadakan oleh Kedutaan Mesir di Jakarta, mereka sebelumnya mendapatkan informasi dari seorang ustadz utusan Al-Azhar yang ditugaskan mengajar di pesantren tempat mereka mengaji. Singkat cerita, setelah adanya pengumuman kelulusan, keduanya dinyatakan lulus mengikuti tes seleksi yang diadakan Kedutaan Mesir dalam lima gelombang.

Malang nasib mereka, pihak Kedutaan hanya bersedia memberikan visa tanpa bersedia memberikan biaya tiket pemberangkatan, pihak Kedutaan malah menuyuruh mereka untuk meminta biaya tiket dari Depag RI. Akhirnya atas saran Kedutaan tersebut, keduanya bersama teman-teman yang lain berangkat ke kantor Depag untuk meminta biaya tiket pemberangkatan. Beruntung bagi Nadi, pihak Depag yang masih memiliki quota bagi colon Siswa Ma’had, memberinya baiaya tiket sebesar Rp 5 juta untuk pemeblian tiket seharga 6 juta rupiah. Namun, malang bagi Daroji dan kawan-kawanya yang ingin masuk kuliah, Bukan gayung bersambut, pihak Depag RI menolak untuk menanggung biaya tiket pemberangkatan calon penerima beasiswa Al-Azhar yang bukan melalui Depag. Mungkin karena minimnya anggaran dana, sebagaimana di jelaskan Presiden PPMI Abdullah Yazid kemarin “hal itu terlihat dari bantuan tiket yang diberikan kepada 28 calon mahasiswa beasiswa Depag yang hanya diberi bantuan harga tiket sebesar Rp 3,8 juta, setengah dari harga tiket” ujarnya kepada TeROBOSAN.

Dengan hasil mengecewakan akhirnya meraka kembali ke Kedutaan untuk meminta pertanggung jawaban. Setelah pihak Kedutaan mengetahui perihal tersebut, kemudian sebagai reaksi, pihak Kedutaan menolak memberikan visa entry bagi calon Mahasiswa yang lulus melalui tes Depag, bahkan pihak kedutaan sendiri malah sempat menahan sebagian paspor milik mereka. Dilain pihak, Daroji dan teman-temanya yang lulus melalui tes kedutaan, selalu dianjurkan untuk meminta tiket pemberangkatan dari Depag, malah anjuran tersebut bernada ancaman “"jangan sampai kalian membeli tiket sendiri sebelum diberi oleh pihak Depag, kalau tidak kalian tidak akan diberangkatkan !" kata Daroji dengan mimik serius menirukan petugas Kedutaan.

Setelah melalui proses negosiasi, pihak kedutaaan akhirnya mengalah dan bersedia memberikan visa entry bagi calon Mahsiswa Beasiswa Depag, walaupun bagi non beasiswa sampai saat ini masih belum jelas, akhirnya, Daraoji beserta tema-temannya yang lain, benar-benar tidak bisa mendapatkan biaya tiket pemberangkatan dari Depag.

Permasalahan tidak berhenti sampai disana, sesampainya Daroji di Mesir, dia tidak bisa langsung menikmati bangku perkuliahan, alasanya Daroji tidak membawa ijazah serta berkas-berkas sebagaimana persyaratan masuk kuliah, karena pihak Kedutaan yang menyeleksianya, samasekali tidak memberitahukan persyaratan ini. sebaliknya dengan Nadi, niat awal masuk Ma’had malah terdaftar di Fakultas Ushuluddin. Akhirnya, keduanya sama-sama harus puas menikamti bangku Dirasah Khasah, menunggu datangnya berkas dan izajah dari Indonesia.

Baik Depag RI maupun pihak Kedutaan Mesir di Indonesia, keduanya sama-sama memiliki hak mandat dari Al-Azhar untuk merekrut calon mahasiswa baru yang akan memperoleh beasiswa al-Azhar, akan tetapi Depag sendiri telah mengadakanya sejak tahun 90-an silam. Permaslahan justru muncul pada tahun ajaran 2007-2008 tahun kemarin, ketika kedutaan Mesir ingin ikut menyeleksi hasil penyeleksian dari Depag yang berjumlah 90 orang, dan meluluskan 45 orangnya saja, sementara itu Depag sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan penyeleksian kembali oleh pihak Kedutaan, yang membuat Depag tidak “srek” istilah Pak Abdullah, adalah pihak kedutaan yang mencari sisa/tambahan dari 45 camaba secara sepihak tanpa berkoordinasi dengan Depag, Kedutaan sendiri malah melimpahkan biaya tiket pemberangkatan ke Depag.

Pak Abdullah yang duduk bersama pak Mukhlason, saat dimintai keterangan di kantornya, mewakili Atase Pendidikan yang baru saja pulang ke Indonesia, mengatakan “Serieus Missunderstanding” ungkapnya menirukan istilah Pak Dubes yang disampaikan saat pertemuan dengan pejabat Kemlu untuk menekan pemerintaha Mesir. “Karena tidak ada sistem kemudian ada semacam satu mekanisme yang terbentur sehingga masing-masing merasa berhak dan merasa benar” ujarnya.

Perekrutan Camaba yang dilakukan secara sepihak selama dua tahun berturut-turut oleh kedua instansi, seolah mengisyaratkan adanya semacam krisis kepercayaan antara kedua pihak, bahkan kejadian ini, untuk yang kedua kalinya, “Intinya di ketidak jelasan prosedur, kedua pihak sama-sama merasa berhak mendapat mandat dari Al-Azhar untuk merekrut Mahasiswa Baru” kata Pak Abdullah menambahkan.

Terlepas dari adanya kerisis kepercayaan atau tidak, hingga saat ini Kedutaan Mesir di Indonesia belum memenuhi permintaan visa entry bagi Camaba non beasiswa sepenuhnya, merujuk pada laporan yang di terima Presiden PPMI dalam pertemuan dengan mitra mediator, Ahad 15/02/09 bertempat di Wisma Nusantara, mengatakan “ sampai saat ini ada 293 Maba yang telah mendapatkan Muwafaqah Amin Qaum, selanjutnya akan dikirim ke Jakarta melalui Kementrian Luar Negri sebagai persyaratan untuk mendapatkan Visa entry” terangnya.

Penundaan pemberian Visa entry oleh pihak kedutaan sebenarnya tidak terlepas dari dua persyaratan yang ditetapkan pihak kedutaan yang harus dipenuhi oleh setiap Camaba yaitu; Muwafaqah Amin Daulah dan Muwafaqah Amin Qaum. Hal ini sebagaimana ditetapkan pada Camaba beasiswa Depag dan Kedutaan. Malangnya proses Muwafaqah Amin Qaum bagi non beasiswa mengalami keterlamabatan, sehingga otomatis menghambat pemberian visa entry dari Kedutaan.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, Muwafaqah Amin Qaum bagi Camaba non beasiswa, tidak menjadi persyaratan mutlak sebagaimana muwafaqah Amin Daulah. artinya jika terjadi keterlambatan penetapan Muwafaqah Amin Qaum-pun tidak akan mempengaruhi pemberian visa entry di kedutaan. Namun tahun ini secara tiba-tiba pihak kedutaan menetapkan persyaratan diatas, “ kebijakan kedutaan Mesir di Jakarta sangat mendadak dan belum disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Bagian Pnedaftaran Mahasiswa Baru Universitas al-Azhar” ungkap Yazid, Presiden PPMI priode 2008-2009 ini menyayangkan.

Hingga saat ini baik KBRI maupun PPMI telah berusaha mencari solusi dari permasalahn ini, sebagaimana di kutip dalam Press Release PPMI, diantaranya, tanggal 15 Oktober 2008, PPMI mengadakan audiensi dengan Duta Besar RI Bapak Drs. AM. Fachir. Pada saat yang bersamaan Pak Dubes menghubungi Duta Besar di Jakarta berkenaan dengan permasalahan calon Mahasiswa Baru. Akhir bulan November, PPMI menghadap Rektor Unv. Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thoyyib guna melayangkan surat permohonan untuk membantu mempercepat pengeluaran visa entry bagi calon Mahasiswa Baru. Tanggal 28 september, PPMI memberikan kronologi permasalahan tidak dikeluarkanya visa entry bagi calon Mahasiswa Baru kepada Universitas Al-Azhar melalui Direktorat Pengasuhan Mahasiswa Asing Prof. Dr. Hamid Abu Thalib. Setelah itu, tanggal 7 Januari 2009, PPMI menghadap pembantu Rektor Bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Al-Azhar Prof. Dr. Abdul Fadel guna membicarakan permasalahn calon Mahsiswa Baru.

Hingga berita ini diturunkan belum ada pernyataan kapan dan pastinya calon Mahasiwa non Beasiswa bisa di berangkatkan “kita tidak bisa memastikan, namun sudah ada penekanan dan akan berkoordinasi dengan pihak Dubes di Jakarta”, tutur Pak Abdullah, saat di wawancarai.









.




Hasrat Untuk Berubah

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
aku bermimpi ingin mengubah dunia
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku
Kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah
Maka cita-cita itu pun agak kupersempit
Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku
Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya
Ketika usiaku telah semakin senja,
dengan semangatku yang masih tersisa
kuputuskan untuk mengubah keluargaku,
orang-orang yang paling dekat denganku
Tetapi celakanya, mereka pun tak mau diubah
Dan kini,
Sementara aku berbaring saat ajal menjelang
Tiba-tiba kusadari: Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,
maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan
mungkin akan bisa mengubah keluargaku
lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku
kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia
(Puisi ini tertulis di sebuah makam di Westminster, Inggris

Rangkaian puisi diatas sangat begitu menyentuh, seolah-olah dia mengingatkan kita, mengingatkan setiap remaja seusia dengan kita atau malah setiap orang yang pernah memiliki cita-cita dan pernah tertanam dalam jiwanya semangat muda untuk memperbaharui dunia.
Cita-cita..ya dialah cita-cita, yang selalu menemani otak kiri kita, mempengaruhi kita, mengajak, bahkan mendorong kita untuk selalu bergerak serta banyak berkarya.

Benar manusia diciptakan dengan serba kekurangan, yaitu kekurangan yang menjadikanya serba kesulitan dan selalu berkecil hati, namun untungnya manusia masih diberi akal dan hati, sehingga dengan keduanya manusia banyak diberi petunjuk dan arahan, dengannya manusia mampu berpikir, menimbang lalu meperhitungkan.

Sikap manusia yang cerdas adalah mereka yang selalu bersyukur atas keberadaan hati dan akal pada diri dan jiwanya, sehingga ia selalu mengoptimalkan keduanya dengan sebaik-baiknya, bahkan, itupun belumlah cukup karena manusia harus mampu menyeimbangkan antara presepsi keinginan hati atas pertimbangan akal.

Cita-cita untuk berubah dan merubah disekitarnya adalah hal yang sangat manusiawi, karena keinginan itu muncul karena adanya presepsi hati dan pertimbangan akal.

Dengan akal, manusia mampu berpikir kritis, membaca ihwal serta mengamati setiap kejadian dan peristiwa. Dia akan bergerak kencang saat dia menemukan suatu peristiwa yang berbeda dari kebiasanya, atau sesuatu yang jauh dari alam sadarnya sehingga memberikan informasi yang berbeda, maka tertanamlah dalam dirinya keingin tahuan, sementara isi hati mendorongnya untuk selalu bertanya, mempelajari dan banyak membaca.

Disinilah letaknya pintu perubahan itu, yaitu saat dia memerdekakan dirinya dari kekerdilan dan kebodohan, tentunya dengan memperbanyak wawasan dan pengalaman, mau memulai serta merubah setiap kebiasaan-kebiasaan semasa bodohnya.

Yaitu saat seorang bayi baru berlatih merangkak saat melihat kedua orang tuanya yang mampu berjalan. Yaitu saat seorang murid bertanya kepada gurunya saat dia tidak mampu memahami pelajaran yang guru sampaikan. Saat kita bertanya siapa Tuhan kita? lalu Nabi diutus dan Alam sepakat untu menjadi ayat-ayatnya, lalu kita bertanya kepada Tuhan mengapa langit mendung lalu turunkan hujan?, serta setiap peristiwa yang mempengaruhi akal dan hati manusia untuk bergerak mengolah saraf serta data-datanya.

Bayangkan jika seorang bayi hidup disatukan dengan komunitas bayi yang lain, tanpa ada satupun yang mengajarinya berjalan, bicara atau merangkak sekalipun. Bayangkan jika seorang guru acuh terhadap pertanyaan muridnya, lalu bayangkan jika Tuhan enggan mengajari makhluknya-siapa Tuhan manusia yang sebenarnya..! Namun, untunglah peristiwa itu tak pernah ada dalam catatan sejarah, jikapun ada, mereka hanya sekelompok kecil manusia yang tertutup akal dan hatinya atau mereka yang belum tau arti pentingnya perubahan. Yaitu, perubahan yang kita mulai dari diri kita sendiri, merangkak mulai dari lingkungan terkecil berjalan ke arah yang lebih luas hingga tercipta sebuah Universitas Stereotipe yang baru. Mungkin saja kesadaran bisa datang dari mana saja, tetapi melaksanakan apa yang telah disadari hanya datang dari diri sendiri.

Marilah kita sama-sama bergerak dan berkarya agar menjadi pembaharu dan bukan hanya menanti perubahan. Menjadi juru kunci sejarah dan bukan sekedar pembaca sejarah. Pepatah mengatakan "tak mengapa seseorang tidak mengerjakan sesuatu, asal segera ia berhenti bermimpi, bercita-cita tentang sesuatu" walahua'lam




Tuesday, February 24, 2009

Siapa Yang Salah..?



Lambatnya Kedutaan Mesir di Indonesia memberikan visa entry kepada calon Mahasiswa Baru, berbuntut panjang pada keterlambatan mereka untuk mengikuti bangku kuliah hingga melewati masa Ujian Termin Pertama. Permasalahan Serious Misunderstanding antara pihak Depag dan Kedutaan, bukan saja berpengaruh pada psikologis setiap calon Mahasiswa Baru, melainkan berpengaruh luas pada dinamika kehidupan Masisir, utamanya pada re-generasi kelompok organisasi secara lebih spesifik. Wacana peningkatan prestasi Masisir yang dicanagkan Lokakarya “kemarin Pagi” sudah tentu ikut ketiban batunya, wacana peningkatan prestasi masisir akan amburadul jika tidak segera diatasi jalan keluarnya. Sebagai reaksi, timbulah berbagai kecurigaan dan saling membenarkan, lalu siapa yang bersalah….?

Semenjak diumumkanya kelulusan tes Depag bulan …..tahun 2008 silam, sebagian Camaba optimis dalam waktu dekat akan segera diberangkatkan pihak Mediator, tak sedikit dari mereka malah telah mengadakan tasyakuran atau acara semacamnya, menyambut keberangkatan. Namun setelah hari-berganti hari, minggu, bulan bahkan tahun pun ikut berganti realita tak kunjung terjadi, munculah rasa gundah dan stres dalam benak mereka. Akibat tak tahan menunggu terlalu lama tak sedikit dari mereka yang malah mengasingkan diri hijrah ke luar kota jauh dari tempat tinggal kedua orang tuanya, “temanku malah mengasingkan diri ke tempat kostan temanya, malu katanya sama tetangga…”, ujar pria asal Jawa Timur yang tidak mau dikemukakan identitasnya. Belum lagi sesampainya di bangku Kuliah, mereka harus bersabar menunggu satu tahun karena tak ikut ujian semester pertama.

Lain dengan cerita kelompok organisai Masisir, keorganisasian Masisir yang menjamur selama ini, tentunya membutuhkan generasi penerus yang lebih dari sekdar satu atau dua orang saja. Adanya keterlamabatan pemberangkatan Camaba otomatis membuat kelompok organisasi yang kebetulan sudah dikejar masa deadline kebingungan bagaimana merekrut anggota baru, mereka tak ada pilihan selain menunggu kedatangan Maba atau memaksakannya.
Jika tahun kemarin tingkat kenajahan masisir mencapai 63% bisa dibayangkan darstis penurunan prestasi pada tahun ini, Lokakarya yang dicanangkan untuk improvisasi prestasi masisir bisa jadi tahun ini malah tak ada asarnya. Pak Abdullah saat dimintai keterangan mengatakan " Dibilang gagal juga engga karena Lokakarya sendiri diadakan termasuk untuk mencari solusi dari masalah baru yang dihadapi, bahkan ada rencana pembangunan asrama untuk mahasiswa Indonesia yang direncanakan dekat dengan kampus perkuliahan, tinggal menunggu respon dari Pak Dubes, InsyaAllah tahun ini satu asrama optimis bisa dibangun" ujar Pak Abdullah panjang lebar. Presiden PPMI menambahi dalam menaggapi hal ini "ini merupakan benar-benar permasalahan lama yang kurang sigap dalam pemecahanya" ungkapnya saat di wawancarai.

Adanya isu krisis kepercayaan yang beredar selama ini antara Depag-Kedutaan, dan siapa yang bersalah di tepis oleh Pak Abdullah "tentunya itu harus disertai dengan saksi dan bukti, saya kira awalnya adanya ketidak jelasan mekanisme saja, karena tidak ada sistem kemudian ada semacam satu mekanisme yang terbentur sehingga masing-masing merasa berhak dan merasa benar"

Sejauh ini bentuk kerjasama antara pihak KBRI, kedutaan Mesir dan Depag jelas ada karena hal tersebut termasuk progres Atdikbud, mudah-mudahan Atdikbud baru Pak Dr. Sangidu, M. Hum akan lebih cepat lajunya proses penangulangan masalah ini, dan sekarang sedang disusun MoU untuk mengatur kedatangan Camaba. "MoU sudah mulai penterjemaahan berkas tinggal peroses selanjutnya antara Jakarta Kairo" terang Pak Abdullah. MoU tersebut mengatur apa hak dan kewajiban Depag, apa hak dan kewajiban kedutan dan Al-azhar jadi semua punya rul dalam peroses rekrutmen camaba. Rencananya Depag yang menyelesaikan Administratifnya kemudian Alazhar mendatangkan Guru yang menyeleksi Maba. "mudah-mudahan ini jadi cerita terakhir" terang Pak Mukhlason. Semoga..!


MABAKU MALANG BERULANG-ULANG

Permasalahan Maba yang tak kunjung selesai, bagaikan aliran sungai yang sulit dibendung. Mekanisme perekrutan Camaba yang ada selama ini, ternyata belum cukup menyatukan instansi-instansi terkait yang mengklaim sama-sama memiliki hak mandat Al-Azhar untuk mendatangkan mahasiswa baru. Lantas bagaiamana nasib mereka hingga saat ini?, lalu apa dibalik disharmonisasi birokrasi dua instansi terkait? Usaha apakah yang dilakukan Pihak KBRI dan PPMI untuk menanggulangi permasalahan ini? Simak laporan Sane sundani di TeROBOSAN dan Blog ini dari lapangan.

Daroji dan Nadi kawan satu pesantrenya, keduanya memakai nama samaran, berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes penerimaan calon Mahasiswa penerima beasiswa Al-Azhar yang diadakan oleh Kedutaan Mesir di Jakarta, mereka sebelumnya mendapatkan informasi dari seorang ustadz utusan Al-Azhar yang ditugaskan mengajar di pesantren tempat mereka mengaji. Singkat cerita, setelah adanya pengumuman kelulusan, keduanya dinyatakan lulus mengikuti tes seleksi yang diadakan Kedutaan Mesir dalam lima gelombang.

Malang nasib mereka, pihak Kedutaan hanya bersedia memberikan visa tanpa bersedia memberikan biaya tiket pemberangkatan, pihak Kedutaan malah menuyuruh mereka untuk meminta biaya tiket dari Depag RI. Akhirnya atas saran Kedutaan tersebut, keduanya bersama teman-teman yang lain berangkat ke kantor Depag untuk meminta biaya tiket pemberangkatan. Beruntung bagi Nadi, pihak Depag yang masih memiliki quota bagi colon Siswa Ma’had, memberinya baiaya tiket sebesar Rp 5 juta untuk pemeblian tiket seharga 6 juta rupiah. Namun, malang bagi Daroji dan kawan-kawanya yang ingin masuk kuliah, Bukan gayung bersambut, pihak Depag RI menolak untuk menanggung biaya tiket pemberangkatan calon penerima beasiswa Al-Azhar yang bukan melalui Depag. Mungkin karena minimnya anggaran dana, sebagaimana di jelaskan Presiden PPMI Abdullah Yazid kemarin “hal itu terlihat dari bantuan tiket yang diberikan kepada 28 calon mahasiswa beasiswa Depag yang hanya diberi bantuan harga tiket sebesar Rp 3,8 juta, setengah dari harga tiket” ujarnya kepada TeROBOSAN.

Dengan hasil mengecewakan akhirnya meraka kembali ke Kedutaan untuk meminta pertanggung jawaban. Setelah pihak Kedutaan mengetahui perihal tersebut, kemudian sebagai reaksi, pihak Kedutaan menolak memberikan visa entry bagi calon Mahasiswa yang lulus melalui tes Depag, bahkan pihak kedutaan sendiri malah sempat menahan sebagian paspor milik mereka. Dilain pihak, Daroji dan teman-temanya yang lulus melalui tes kedutaan, selalu dianjurkan untuk meminta tiket pemberangkatan dari Depag, malah anjuran tersebut bernada ancaman “"jangan sampai kalian membeli tiket sendiri sebelum diberi oleh pihak Depag, kalau tidak kalian tidak akan diberangkatkan !" kata Daroji dengan mimik serius menirukan petugas Kedutaan.

Setelah melalui proses negosiasi, pihak kedutaaan akhirnya mengalah dan bersedia memberikan visa entry bagi calon Mahsiswa Beasiswa Depag, walaupun bagi non beasiswa sampai saat ini masih belum jelas, akhirnya, Daraoji beserta tema-temannya yang lain, benar-benar tidak bisa mendapatkan biaya tiket pemberangkatan dari Depag.

Permasalahan tidak berhenti sampai disana, sesampainya Daroji di Mesir, dia tidak bisa langsung menikmati bangku perkuliahan, alasanya Daroji tidak membawa ijazah serta berkas-berkas sebagaimana persyaratan masuk kuliah, karena pihak Kedutaan yang menyeleksianya, samasekali tidak memberitahukan persyaratan ini. sebaliknya dengan Nadi, niat awal masuk Ma’had malah terdaftar di Fakultas Ushuluddin. Akhirnya, keduanya sama-sama harus puas menikamti bangku Dirasah Khasah, menunggu datangnya berkas dan izajah dari Indonesia.

Baik Depag RI maupun pihak Kedutaan Mesir di Indonesia, keduanya sama-sama memiliki hak mandat dari Al-Azhar untuk merekrut calon mahasiswa baru yang akan memperoleh beasiswa al-Azhar, akan tetapi Depag sendiri telah mengadakanya sejak tahun 90-an silam. Permaslahan justru muncul pada tahun ajaran 2007-2008 tahun kemarin, ketika kedutaan Mesir ingin ikut menyeleksi hasil penyeleksian dari Depag yang berjumlah 90 orang, dan meluluskan 45 orangnya saja, sementara itu Depag sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan penyeleksian kembali oleh pihak Kedutaan, yang membuat Depag tidak “srek” istilah Pak Abdullah, adalah pihak kedutaan yang mencari sisa/tambahan dari 45 camaba secara sepihak tanpa berkoordinasi dengan Depag, Kedutaan sendiri malah melimpahkan biaya tiket pemberangkatan ke Depag.

Pak Abdullah yang duduk bersama pak Mukhlason, saat dimintai keterangan di kantornya, mewakili Atase Pendidikan yang baru saja pulang ke Indonesia, mengatakan “Serieus Missunderstanding” ungkapnya menirukan istilah Pak Dubes yang disampaikan saat pertemuan dengan pejabat Kemlu untuk menekan pemerintaha Mesir. “Karena tidak ada sistem kemudian ada semacam satu mekanisme yang terbentur sehingga masing-masing merasa berhak dan merasa benar” ujarnya.

Perekrutan Camaba yang dilakukan secara sepihak selama dua tahun berturut-turut oleh kedua instansi, seolah mengisyaratkan adanya semacam krisis kepercayaan antara kedua pihak, bahkan kejadian ini, untuk yang kedua kalinya, “Intinya di ketidak jelasan prosedur, kedua pihak sama-sama merasa berhak mendapat mandat dari Al-Azhar untuk merekrut Mahasiswa Baru” kata Pak Abdullah menambahkan.

Terlepas dari adanya kerisis kepercayaan atau tidak, hingga saat ini Kedutaan Mesir di Indonesia belum memenuhi permintaan visa entry bagi Camaba non beasiswa sepenuhnya, merujuk pada laporan yang di terima Presiden PPMI dalam pertemuan dengan mitra mediator, Ahad 15/02/09 bertempat di Wisma Nusantara, mengatakan “ sampai saat ini ada 293 Maba yang telah mendapatkan Muwafaqah Amin Qaum, selanjutnya akan dikirim ke Jakarta melalui Kementrian Luar Negri sebagai persyaratan untuk mendapatkan Visa entry” terangnya.

Penundaan pemberian Visa entry oleh pihak kedutaan sebenarnya tidak terlepas dari dua persyaratan yang ditetapkan pihak kedutaan yang harus dipenuhi oleh setiap Camaba yaitu; Muwafaqah Amin Daulah dan Muwafaqah Amin Qaum. Hal ini sebagaimana ditetapkan pada Camaba beasiswa Depag dan Kedutaan. Malangnya proses Muwafaqah Amin Qaum bagi non beasiswa mengalami keterlamabatan, sehingga otomatis menghambat pemberian visa entry dari Kedutaan.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, Muwafaqah Amin Qaum bagi Camaba non beasiswa, tidak menjadi persyaratan mutlak sebagaimana muwafaqah Amin Daulah. artinya jika terjadi keterlambatan penetapan Muwafaqah Amin Qaum-pun tidak akan mempengaruhi pemberian visa entry di kedutaan. Namun tahun ini secara tiba-tiba pihak kedutaan menetapkan persyaratan diatas, “ kebijakan kedutaan Mesir di Jakarta sangat mendadak dan belum disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Bagian Pnedaftaran Mahasiswa Baru Universitas al-Azhar” ungkap Yazid, Presiden PPMI priode 2008-2009 ini menyayangkan.

Hingga saat ini baik KBRI maupun PPMI telah berusaha mencari solusi dari permasalahn ini, sebagaimana di kutip dalam Press Release PPMI, diantaranya, tanggal 15 Oktober 2008, PPMI mengadakan audiensi dengan Duta Besar RI Bapak Drs. AM. Fachir. Pada saat yang bersamaan Pak Dubes menghubungi Duta Besar di Jakarta berkenaan dengan permasalahan calon Mahasiswa Baru. Akhir bulan November, PPMI menghadap Rektor Unv. Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thoyyib guna melayangkan surat permohonan untuk membantu mempercepat pengeluaran visa entry bagi calon Mahasiswa Baru. Tanggal 28 september, PPMI memberikan kronologi permasalahan tidak dikeluarkanya visa entry bagi calon Mahasiswa Baru kepada Universitas Al-Azhar melalui Direktorat Pengasuhan Mahasiswa Asing Prof. Dr. Hamid Abu Thalib. Setelah itu, tanggal 7 Januari 2009, PPMI menghadap pembantu Rektor Bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Al-Azhar Prof. Dr. Abdul Fadel guna membicarakan permasalahn calon Mahsiswa Baru.

Hingga berita ini diturunkan belum ada pernyataan kapan dan pastinya calon Mahasiwa non Beasiswa bisa di berangkatkan “kita tidak bisa memastikan, namun sudah ada penekanan dan akan berkoordinasi dengan pihak Dubes di Jakarta”, tutur Pak Abdullah, saat di wawancarai.









.




Monday, October 20, 2008

Klasifikasi Lafadz; Dilalah Wadih wa Ghairu Wadih*

Prolog

Syariat Islam sebagai syariat Nabi dan Rasul yang terakhir; Muhammad Saw, memiliki kesempurnaan sistem baik ditinjau dari aspek teks (al-Qur'an dan al-Hadist) maupun dalam implementasinya dalam bentuk konteks sosial. Diantara ciri khas sayariat Islam menurut DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., dalam bukunya Islam Aplikatif, antara lain menyebutkan; kompherensif dan universal.[2]Kompherensif beraarti syariat Islam mecakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik ritual (ibadah Mahdloh) maupun sosial (muamalah temasuk sosio kultural, ekonomi dan civil scoeity ), serta Universal menyangkut segala aspek kehidupan demikian penerapanaya tanpa batas waktu dan tempat.

Namun menurut salah satu tokoh kiri Islam yang layak kita kritisi dalam salah satu seminarnya mengemukakan; bahwa dalam persoalan muamalah tidak ada ketentuan yang pasti di mana Allah menentukan “otoritas kebijakan yang permanen” terhadap bentuk hukum yang wajib dipraktikkan umat Islam. Yang ada hanyalah nilai-nilai pokok universal dalam Islam sebagaimana juga ada dalam semua agama. Karena itu jika ingin menetapkan suatu hukum dalam soal muamalah di suatu masyarakat harus melalui jalan ijtihad tanpa perlu terikat pada sistem hukum yang baku dalam Alquran maupun Sunnah, sebab dalam hal ini tidak ada “HukumTuhan” dalam arti ma'na lafadznya secara mutlak dan permanen.

Dengan demikian diperlukan suatu instrumen lain untuk menjembataninya, yaitu suatu perangkat yang menyesuaikan antara ma'na teks dengan konteks yang selalu baru. Dalam hal inil Ushul Fiqhlah yang menjembatani anatara ketetapan-ketetapan al-Qur'an dan as-Sunnah dalam konteks Nash yang permanen dan prisipil dengan konteks sosial masyarakat yang selalu berubah-ubah dan bersipat Variable. Untuk itu dalam pembahasan Syariah muamalah kita kenal istilah Tsawabit wa Muthagoyirat (prinsip dan Variable). Dalam bidang ekonomi, misalanya yang merupakan prinsip adalah larangan riba, pengambilan keuntungan, pengenaan Zakat, dll. Sedangkan variable adalah instrumen untuk melaksanakan prinsip tersebut, misalanya murabahah, mudharabah dan lain-lain yang sesuai dengan perkembangan sosio kultural dan tuntutan zaman.

Walaupun pada dasarnya Ushul Fiqih merupakan kodivikasi kaidah-kaidah universal yang membantu untuk mengintisarikan pokok-pokok Syari'ah furuiyah, yang terambil dari dalil-dali nash secara ekplisit dan terperinci,[3] namun dari sinilah sejatinya ilmu Fiqih terlahir sebagi produk instant dari Usuhul Fiqh.

Maka bentuk kekhawatiran para liberalis terhadap syariah, dimana mereka menuduh syariat sebagai perangkat Islam yang memiliki kejumudan tanpa membangun wacana kesepadanan antara teks dengan kontks rill sosial masyarakat yang terus maju dan berubah-ubah adalah tidak benar adanya. Begitu pula kekhawatiran mereka terhadap Bibliolatry meminjam istilah T.H. Huxley yang dikutip Ulil Absahar Abdala dalam sebuah tulisananuya Menghindari Bibliotary, tentang Pentingnya Menyegarkan kembali pemahaman Islam, yaitu sebuah kecenderungan umat terhadap Holy suprame dalam hal ini (al-Qur'an) dan al-Hadist, sebagai bentuk "penyembahan teks"—menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu"suprame", begitu tinggi, sehingga mengalahkan pengalaman rill kehidupan manusia yang multi tradisi dan sosio kultural adalah pernyataan yang sangat tidak logis dan tidak berdasar.[4]

Demikian dengan Fiqih sebagai instrumen syari'ah, dalam perkembanganya telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang berisikan kodipikasi-kodipikasi syar'iah melalui berbagai kajian serta hasil ijtihad para ulama yang tentunya memiliki cakupan sangat luas, yaitu mencakup segala ilmu[5], termasuk di dalamnya akhlak, ibadah dan muamalah.

Diantara beberapa bahasan Ushulul Fiqh, Klasifikasi lafadz merupakan salah satu pembahsan yang cukup urgen, bahkan dapat disebut sebgai intisari bahasan. Untuk itu perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam lagi terkhusus dalam hal ini, karena pembahasanya sangat berkaitan erat dengan Istinbhatil Ahkam.

Setelah sedikit berapologi dan agar tidak keluar dari esensi bahasan, dalam pembahsaan kali ini kita masih berkutat pada Klasifikasi Lafadz, Jika kemarin menurut pemakaianya maka kali ini pengkalisifkasian menurut dilalahnya. Untuk lebih lanjut mari kita simak penguraian di bawah ini dimana penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan yang harus dikritisi, mudah-mudahan tidak merasa puas dengan makalah ini dan itu yang sejatinya penulis harapkan.

1. Klasifikasi Dilalah Wadih

Ada persamaan kategori pengkalsisfikasian Wadihu Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu uhulul Fiqah karya Abdul wahab Khalaf, keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar 4. Muhkam. Penulis menyimpulkan bahwa keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengklsifikasikan dilalah menurut Qoidah Ushulul fiqh. Karena dalam kitab Nuhayat ass-Sul karya imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi yang bermadzhab Syafi'i, pengkalsifikasikan lafadz dalam kitab tersebut sangat dipengaruhi dengan kaidah ilmu manthiq.


Sebelum memebahas Dilalalah berikut kalsifikasinya secara lebih jauh, terlebih dahulu kita akan membahas Takwil sebagai perangkat penting sebelum membahas dan mentafsirkan bentuk lafadz-lafadz dalam ranah dilalah, walaupun penjabaranya hanya bersipat global, hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang klasifikasi lafadz.

Takwil

Definisi Takwil secara etimologi: Tafsir, sedangkan menurut terminologi para ahli ushul mengartikan takwil; sebagai pembebasan arti lafadz dari ma'na aslinya ke ma'na yang lain berdasarkan dalil yang kontradiksi dengan lafadz tersbut, maka seyognyanya pentakwilan (lafadz) harus di barengi dengan suatu dalil yang berlawanan denganya--demikian karena Al aslu adamuhu, dan konsensi wajib terletak pada kejelasan lafazdnya tersbebut.
Contoh pentakwilan: Taqyidul muthlaq (pengikatan hal yang muthlak), Takhsisul Amm (pengkhususan hal yang bersifat global), Sharafahu ann umumahu (pebebasan mana yang global)

Al-majaal Attakwil

Bentuk pentakwilan memasuki dua area dalam nash;
pertama: Nash yang berisikan hukum pentaklifan, dikarenakan keraguan yang tumbuh dalam benak seorang mujtahid dalam mentakwilkan lafadz dalam memahami ma'na bahasanya untuk selanjutnya menjadikanya sebuah kesimpulan hukum syara' dari nash tersebut.
Kedua: Nash-nash permanent yang berisikan keyakinan dan I'tikad, sebagimana ayat-ayat yang membahas sifat-sifat Allah, Ahrufulmiqhoto'ah dll.

Syarat-syarat Takwil
Pertama; suatu lafadz (yang memiliki kontardiksi ma'na) sehingga memrlukan dan menerima pentakwilan, sebagaiamana dilalah Dzohir dan Nash.
Kedua: Sebgaimana lafad muthlaq yang memerlukan pentakyidan/ikatan atau pemgkhusussan lafadz Amm.

Penjabaran takwil dicukupkan demikian walaupun sejatinya masih cukup panjang, masih banyak pembagian-pembagian lain yang belum kami cantumkan, hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang perangkat-perangkat lafadz.
Klasifikasi Lafadz

Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat anatar ulama dalam meng-klasisfikasikan lafadz, diantara yang penulis ketahui; Syafi'iah[6] dan Hanafiah[7], secara garis besar perbedaan mencolok diantara keduanya, yaitu dalam methode pengklasifikasian, jika Hanafiah cenderung sistematis dan sedikit mudah untuk dipahami, sedangkan Syafi'iah cenderung klasik dan manthiqi sehingga sedikit sulit untuk dipahami.
Namun penulis disini hanya akan mengklasifikasikan lafadz terbatas pada methode Hanafiah, hal tersebut karena mengikuti silabus kajian yang mengikuti methode Hanafiah. diantaranya terdapat dalam Ushulul fiqh al-Islami karya Wahbah Zuhaili serta Al-Imu Ushulul Fiqh karya Abdullah bin Khalaf.

Terdapat persamaan kategori pengkalsisfikasian Wadih Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu Ushulul Fiqah karya Abdul Wahab Khalaf. keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar dan 4. Muhkam. Sehingga ada kemungkinan keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengambil Qoidah Ushulul fiqh.

I. Dzohir

Dzohir secara etimologi; bearti jelas. Sedangkan menurut terminologinya yaitu; setiap lafadz atau kalam yang memiliki ma'na eksplisit terhadap obyek pembaca melalui konotasi bahasanya tanpa harus menukilkan ma'na lafadz terhadap hal-hal skunder diluar maksud lafadz tersebut, baik lafdz tersebut mengandung ma'na yang luas ataupun tidak. Sebagaimana Firman Allah {Ya Ayyuhannasuttaqu rabbakum}[8] atau ayat lainya { Azani wazzaniatu fajlidu kullu wahiddin minhuma}[9] kedua Ayat diatas memiliki Dilalah yang cukup jelas sehingga tidak perlu mentakwilkannya secara lebih ekplisit lagi.
ketika maksud suatu ayat dapat dipahami tanpa memerlukan penukilan terhadap ma'na lainya, akan tetapi bukan merupakan maksud asli dari konotasi bahasanya, maka hal itu dapat mengi'tibarkan kalam tersebut keapada--maksud kalam tersebut secara eksplisit
Contoh: {Fankihu maa thooba lakum minanannisa mastna wa stulasa wu ruba'a}[10] ayat tersebut secara jelas menunjukan ke legalan berpoligami dalam memiliki istri, tetapi ma'nanya tidak menunjukan kepada arti luas dari ayat tersebut karena maksud utama dari konotasi ayat tersebut adalah meminimalisir jumlah istri dari empat atau satu saja sebagaimana diatas.

Hukum Dzohir

Hukum Dzohir wajib mengamalkan petunjuknya secara yakin dan pasti, baik lapadz tersebut bersifat umum ataupun khusus terkecuali apabila terdapat dalil lain yang mengeliminasi ke udhulan-ya, baik mengarah kepada maksud lain atau adanya dalil lain yang menunjukan pendiskualipikasian lafadz yang dimaksud, sebagaimana lafadz muthlaq yang memerlukan taqyid. Contohnya pada ayat tentang kelegalan berpoligami yang masih muthlaq {Wa ahallalohu maa wa'roa dzalikum}, ayat tersebut di taqyid dengan ayat lain {Mastna wa tsulasa wa rubba'a}, dan dalam suatu hadits tentang pelarangan seorang gadis hidup bersama pamanya.

II. Nash

Nash menurut definisi para ahli ushul: setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na atau maksud asli lafadz secara jelas, melalui konotasi lafadz tersebut dengan menggunakan perangkat takwil, takhsis dan menerima nasakh (khusus di masa turunya wahyu).
Contohnya: {wa ahalallohu al-Bai'a wa harroma arriba}[11] disatu pihak ayat tersebut menunjukan pengingkaran "misal" dan di pihak lain menerangkan perbedaan antara; jual beli dengan riba dari segi halal dan haramnya.

Maksud ayat tesebut jelas yaitu pelegalan jual beli dan pelarangan riba, sebagai sanggahan terhadap statemen orang Yahudi terhadap riba yang terdapat pada ayat sebelumnya { Innamal Bai'a mistlu ar-riba}[12]

Hukum Nash

Nash wajib hukumnya, sebagaimanan hukum Dzohir dengan pertimbangan takwil dan nasakh, meskipun pentakwilan tidak di sandarkan kepada suatu dalil atau pentakwilanya berada jauh dari ma'na dzohirnya, kedudukan nash bersifat tetap hukumnya Qat'i dan yakin.

III. Mufassar

Definisi Mufassar yaitu: setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na serta maksud lafadznya secara dzohir tanpa menyertakan perangkat takwil dan takhsis akan tetapi menerima nasakh (terbatsa pada masa turunya wahyu berlangsung).
Dalam menerangkan suatu lafadz, Mufasssar terbagi dua bagaian.
Pertama: Bayanu at-Taqrir.
Yaitu suatu keterangan dengan perfikasi takhsisulafdzi, majaz dan takwil apabila berbentuk umum dan mengubahnya menjadi lafadz muakkad.
Contohnya: {Tholaki nafsiki marrotan wahidatan} lafadz (wahidatan) dalam hadits tersebut menunjukan kemungkinan pentalaqan lebih dari satu kali, sehingga perlu keterangan lain untuk menafsirkanya.
kedua: Bayanu at-Tafsir.
Yaitu suatu keterangan dengan menafsirkan ma'nanya yang tersembunyi meliputi lafadz tersebut serta menjelaskanya sehingga lebih eksplisit.
Contohnya: {Fasajjada al-Malaikat kulluhum ajmaun}" kata mlaikat disini bersifat umum sehingga memerlukan pengkhususan-- karena perkataan yang didahului alif lam akan bersifat jama'(umum). akan tetapi kalimat malaikat disini telah bersifat khusus (dengan maksud) sebagaian malaikat tidak melaksanakan sujud. kalimat (kulluhum) disini menunjukan pembebasan taksis, hal ini menunjukan bayan taqrir. sedangkan kalimat ( ajmaun) menghilangkan ihtimal pelaksanaan sujud yang berbeda-beda; hal ini disebut dengan bayan tafsir, menafsirkan kaifiyah sujud, serta membatasi ihtimal perbdaan takwil.

Hukum Mufassar
Kedudukan hukumnya bersifat wajib qoth'i, tanpa memerlukan ihtimal takwil atau takhsis serta nasakh di masa nabi, dengan syarat apabila hukumnya tersebut bersifat Juz'i; karena masa pemberlakuan nasakh (penghapusan ma'na nash) terbatas pada saat turunnya wahyu berlangsung, adapun setelah wafatnya Nabi Muhammmad. Saw dan terputusnya wahyu, kedudukan hukum syara' dalam al-Qur'an dan Sunnah menjadi ketetapan hukum yang permanen tanpa menerima nasakh dan Ibthol

IV. Muhkam

Muhkam menurut terminologi para ahli Ushul; Yaitu lafadz yang menunjukan kepada ma'nanya melalui konotasi lafadz tersebut secara jelas dan terperinci tanpa menggunakan takwil, takshsis dan nasakh. Hal tersebut karena lafadz Mufassar menyangkut permasalahan asasi, seperti halnya Ushulul Iman, Ushulul fadhail dan Qaidah akhlakiah.
Dalam kitab Ushulul Fiqh Alislami, Wahbah Zuhuaili mengkalsisifikasikan Muhkam kepada dua tema;
Pertama: Almuhkam Lidzatihi, yaitu suatu konsensus hukum yang terambil dari dzat nash tersebut. Sebagaimana Firman Allah {Innalaha Bii kulli syain Alim} maka sifat alim bagi Allah bersifat qadim azali yang artinya berdiri sendiri dengan dzatnya ta'ala, maka pembahasannya ini tidak menerima Nasakh, maupun takwil karena pembahsanya yang bersifat permanen dan tetap mengenai sifat Uluhiyah
Kedua: Al-muhkam Li Ghoirihi, yaitu lafadz yang terhukumi disebabkan perkara lain diluar nash, yaitu setiap Nash yang terputus penasakhan-nya disebabkan terputusnya (masa penurunan) wahyu kerana wafatnya Nabi Saw., Maka hukum tersbut (dapat) datang dari perkara lain diluar Nash, hal tersebut meliputi berbagi macam dilalah wadih yang empat; Dzohir, Nash, Mufassar, dan Al-muhkam.

Hukum Muhkam:

Hukumnya wajib Qoth'i tanpa ada keraguan lagi, dikarenakan tidak ada pertimbangan lain untuk mem'anainya ke arti yang lain serta tidak pula menerima nasakh dan pembatalan nash secara muthlaq, baik dimasa turunya wahyu maupun setelah wafatnya Rasul Saw.

Kesimpulan Dilalah Wadih

Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, Mufassar dan Muhkam), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, aka tetapi ke-empatnya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang paling kuat dari ke-empat macam lafadz tersebut Karena ke-empatnya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah: Almuhkam, Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.
Contoh kontradiksi; antara dzohir dan nash;
Dalam sebuah Ayat {Wa ahllallohu maa waraa'a dzlikum}, dengan ayat lain: {Fankihuu maa Thoaba lakum min annisa'i mastna wa tsulasa wa rubaa'a}. Kedua ayat tersebut sama-sama menunjukan kelegalan berpoligami, akan tetapi ayat pertama berbentuk dzohir, tanpa ada batasan jumlah (red;istri), sedang pada ayat ke-dua berbentuk nash, karena menunjukan batas jumlah istri dalam ber-poligami (satu sampai empat istri), serta larangan melebihkannya. Secara langsung kedua dilalah ini menunjukan sebauh kontradiksi ma'na. Adapun caranya dengan mendahulukan nash, dengan alasan nash lebih kuat dibandingkan dzohir dalam pengamalan dan pengambilan istinbath hukumnya, karena nash bersifat global mencakup kedua dilalah dengan mempertimbangangkan (lafadz dzohir) sebagai tamtsil terhadap pertimbangan lain yang sepakat dengan nash. Hal ini sesui dengan kaidah umum ushul fiqh; Al-aqwa yuqoddimu ala adh'ap i'nda Att-aarud.

Untuk menghemat penulisan, sekian contoh yang penulis sertakan, untuk contoh lebih lanjut kita akan mencoba membahasnya pada saat diskkusi nanti Insya Allah. Selanjutnya kita akan memebahas judul berikutnya.

Klasifikasi Dilalah Ghairu Wadih

Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih; Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya.[13] Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafii, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai dengan kategorinya.

Pandangan Umum.

Kategori peng-klasifikasian tingkatan dilalah Ghairu Wadih berdasarkan kesamaran/ketersembunyian lafadz serta Ma'na yang terkandung di dalamnya. Apabila kesamaranya terdapat pada ma'nanya maka disebut: Khafa. Sedangkan apabila kesamaranya terdapat pada Lafadz terbagi kepada tiga bagian: pertama, apabila maksud atau ma'na dari lafadz tersebut masih dapat diketahui melalui akal disebut: Musykil, kedua, bila diketahuinya dengan dalil Naqli dan tidak dengan akal disebut: Mujmal, ketiga, apabila maksud lafad yang tersembunyi tidak bisa di ketahui dengan akal maupun dalil naqli disebut; Mutasyabih. Untuk emnegtahui dalil mutaysabih lebih lanjut akan penulis uraikan dibawah ini.

I. Khafa

Menurut terminologi para Ahli Ushul: Khafa adalah Suatu lafadz yang menunjukan ma'nanya secara jelas, akan tetapi terdapat beberapa hal yang samar pada sebagian tingkatan ma'nanya yang lain, sehingga membutuhkan penela'ahan dan pengkajian yang mendalam untuk mengetahuinya.
Contohnya: Lafadz {Assariqu} dalam ayat {wassariqu wa sarriqotu faktau' ayidiyahuma}[14], definisi Assariqu (mencuri) sangat jelas: yaitu merampas hak milik orang lain berupa harta Haraz[15] dengan jalan sembunyi-sembunyi.
Pengambilan hukum menjadi samar bila kata sariqah disandingkan dengan kejahatan yang sejenis akan tetapi terdapat perbedaan dalam cara mengerjakanya, contohnya; Atharar[16] dan Annabasy[17]. Walupun ma'nanya hampir sama ( kegiatan mencuri), namun ada perbedaan cara serta obyek yang diambil, hal inilah yang menjadikan keraguan dan perselisihan pendapat para ulama apakah ke-tiganya dikategorikan hukum sraiqoh (potong tangan), ataukah tidak, dalam hal ini perlu pengkajian dalam menentukan hukumnya.
Diantaranya Imam Syafi'i dan Imam Abu Yusuf sepakat menghukumi ketiganya dengan hukum sariqah, akan tetapi Imam Hanafi memiliki pendapat lain dalam menghukumi Annabasy, menurutnya kasus Annabasy ini tidak bisa dikategorikan dengan hukum sariqoh, alasanya; karena (harta) yang terdapat di pekuburan tidak termasuk harta yang dipelihara/dijaga, dan kafan umumnya termasuk harta yang sifatnya tidak diingini banyak orang oleh karena itu, penamaanya pun berbeda (tidak sriqu kaffan), maka hukum Annabasy, masih menurut Hanafi tidaklah sama dengan hukum sariqoh akan tetapi dihukumi dengan ta'jir.[18] Berbeda halnya dengan Imam Syafi'i dan Imam Yusuf yang mengkategorikanya dengan hukum Sariqah (dipotong tanganya).

Hukum Khafi:

Wajib mengadakan usaha untuk mengetahui pengertianya serta ma'nanya, apabila terdapat lafadz yang justru lebih jelas (Atharar: perampokan), maka hukumnya di kembalikan ke asal lafadz aslinya (sariqoh: pencurian)

II. Musykil

Menurut para ahli Ushul, Musykil adalah: setiap lafad yang tersembunyi ma'nanya disebabkan bentuk asal lafadznya tersebut, oleh karenanya tidaklah mudah mengetahui ma'nanya kecuali dengan pengkajian dan perbandingan ma'na/maksud dengan perangkat lain secara seksama.
Contohnya: {wal muthalaqatu Yatarabbasna bi anfusihinna tsalasatu quruuin}[19], lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru'sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil. walupun Wahbah Zuhaili dlam kitabya merajihkan pendapat pertama. pada dasarnya keduanya memiliki alasan yang kuat namun penulis disini tidak bermaksud mencantumkanya semoga dapat ditemukan dalam diskusi nanti.

Hykum Musykil

Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk mengetahui maksud serta ma'na lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.

III. Mujmal

Para ahli ushul mendefinisikan Mujmal; setiap lafadz dimana sighohnya tidak menunjukan kepada ma'na asli lafadz tersebut tanpa ada pembanding atau konteks yang menjelaskannya, sehingga dengan kata lain sebab ke abstrakan ma'nanya dikarenakan lafadz bukan maksudnya.


Sebab-sebab dilalah Mujmal;

Pertama: al-Isytirak ma'a adamu al qorinah, kedua: gharabtul isti'mal ketiga: Annaqlu minal ma'na allughowi ilaa ma'na isthilahi.

Hukum Mujmal:

Penetapan ijtihad ma'na dilalah Mujmal terbatas hanya pada masa turunya wahyu sebab ma'nanya yang sangat mubham serta tidak ada sighah lafadz atau dalil lain sebagai pembanding untuk menjelaskan ma'nanaya, maka penafsiran ma'nanya langsung dari Nabi Saw., Tanpa memakai perangkat ijtihad.

IV. Mutasyabih

Definisi Mutasyabih menurut para ahli ushul yaitu: suatu lafadz yang sama sekali tidak menunjukan arti lafdz tersbut dengan sendirinya, tanpa ada Qrinah-qorinah lain yang membantu menjelaskanya, akan tetapi mayakininya secara syara' tanpa menafsirkanya lebih lanjut.

Sebgai pengetahuan bahwa lafadz Mutasyabih ini tidaklah terdapat pada ayat-ayat hukum, akan tetapi lafadz mutasyabih ini terdapat pada tempat/Nash lain, sebgaimana ahruful muqatha'ah pada permulaan beberapa surat; alif lam, Qaaf, Ahad dll. atau dalam sebagian ayat al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah Swt., memiliki perangkat tubuh sebagaimana makhluknya, sebagaimana tercantum dalam beberapa ayat.
Untuk ahruful Hijaiah al-Muqata'ah, seluruh ulama sepakat bahwa tidak ada man'a yang pasti dan tidak adapula penafsiran Allah kepada maksud aslinya, untuk itu Allahu a'lamu bimurodihi. Sedangkan untuk ayat-ayat mutasyabihat terdapat dua perbedaan pendapat, yaitu: ulama salaf dan khalaf dalam menafsirkan Ma'na ayat tersebut.
Pertama: ulama salaf, mereka lebih cenderung tawaquf dalam mema'nai ayat-ayat tesbut dengan meyakini sepenuhnya, tanpa ada usaha untuk mentakwilankan lafadz tersebut ke ma'na lainya, hal tersebut sebagi tindakan kehati-hatian mereka dalam me'ma'nai lafadz tereebut. Landasan ulama salaf adalah dalam menenntukan wuquf dalam bacaan ayat {wamaa ya'lamu ta'wiluhu illallahu }[20],
Kedua: ulama Khalaf menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan ma'na mazaji sesui dengaan dzohirul lafadzinya. karena menurut mereka al-Qur'an diturunkan untuk di taddaburi, di kaji dan digali ma'mananya baik yang dzohir maupun yang tersembunyi. Sebagaimana lafadz {alyad}, dima'nai dengan Qudrah yang berarti kekuatan, atau {A'yunina} dengan arti Riayatuna yang berarti penjagaan/pengasuhan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas landasan mereka adalah dalam menentukan wuquf yang berebda dengan ketentuan wuquf ulama salaf {wama ya'lamu ta'wiiluhu illallohu waa arrsosikhuna fil ilmi}.[21]

Kesimpulan

Dari uraian diatas, sedikitnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa klasisfikasi lafadz memiliki tempat yang sangat urgen dalam kaidah ushulul fiqh, hal ini dikarenakan keberadaanya yang menjadi titik vokal dalam pengambilan serta isthinbatul ahkam Ushul Fiqh. Perlu pengkajian lebih, dalam mene'laah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist terkhusus nash-nash hukum, karena setiap lafadz tidak serta merta menunjukan ma'na serta maksud dari konotasi lafadz tersebut, melainkan terdapat berbagai perangkat lain dalam menentukan ma'na serta maksdunya, diantar perangkat tersebut sebagaiaman telah di uraikan diatas; Takwil, Nasakh wal mansukh, Tarjih dll, yang semuanya terangkum dalam ranah ijtihad para ulama dan shalafu sholeh.

Epilog
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah S.W.T, termikasih kepada teman-teman serumah dan seperjuangan yang telah menyokong, membantu serta mengorbankan ketenangannya disaat proses penulisan makalah ini. Tanpa mengurangi rasa syukur, sudah seyogyanya kita sebagai "thalib" warisan para alim ulama agar tidak merasa puas dan cukup terhadap ilmu yang kita miliki, spirit kritis dan bertanya nampaknya masih sangat perlu dibangun, keduanya adalah instrumen istimewa pembuka wawasan pemecah kebekuan dan kejumudan. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu di kritisi dan diluruskan, kurang lebihnya penulis mohon maaf, mudah-mudahan menjadi bekal di masyarakat serta menjadi amal ibadah di sisi Allah. Aminn

Wallahualam Biishowaab




*Makalah ini di persentasikan dalam acara Kajian Intensif Jama'ah IKASADA, Cabang Kairo pada tanggal 20 Agustus 2008 di rumah kost-an permai, Qta10.
** Penulis adalah Thalib Azhar yang ingin selalu mempersandingkan dengan harmonis antara teks dan konteks menjunjung tinggi pesan propethik dan pluralisme tradisi
2 DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Islam Aplikatif, Gema Insan press, Jakarta, cet I, 2006, hal 69
Al-Wadih fi Ushulul Fiqh, Maktabah Darr el-Salam, Kairo, cet I . Muhammad Abdullah Al-Asyroq, [3]
Tahun 2007 hal 7.
[4] Ulil Absahr Abdalla, Menggugat Tradisi, diedit oleh Zuhairi Misrawi, Grup Kompas, Jakarta , 2 003, hal 68-69.
[5]QS. Al-Maidah: 78
[6] Syafi'iah yaitu suatu kelompok menganut madzhab Syafii,
[7] Hanafiah yaitu suatu kelompok yang menganut Imam Hanafi
[8] QS. Al-Hajjj:1
[9] Ibid.An-Nur: 2
[10] Ibid. An-Nisa:3
[11] QS.Al-Baqarah: 275
[12] Ibid: 275
[13] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Maktabah Dar el-Trurat, Kairo, cetke I, hal168
[14] QS. Al-Maidah: 38
[15] Haraz; istilah harta yang dilindungi pemiliknya, biasanya di simpan dirumah atau di tempat lainnya
[16] Atharar merampok; mengambil hak oranglain di saat pemiliknya sedang lalai dengan kelihaian tanganya
[17] Annabasy; penncuri kain kafan mayit dari kuburan
Wahbah Zuhauli, Ushulul Fiqh Al-Islami, Maktabah Dar el-Fiqr, Damsyiq, cet I, 1986, hal 338 [18]
[19] QS. Al-Baqarah: 228
[20] QS. Ali Imran: 7
[21]Wahbah Zuhauli, Ushulul Fiqh Al-Islami, Maktabah Dar el-Fiqr, Damsyiq, cet I, 1986, hal 343

Thursday, May 29, 2008

Pengobatan Psikotrapi Ala Ibnu Sina


Ibnu Sina merupakan seorang ahli kedoteran dan psikologis Islam yang sangat terkenal, bukan hanya di dunia Islam namun juga sentero dunia. Rumus-rumus serta penemuan-penemuan hasil observasinya dalam bidang kedokteran menjadi Masterpiece ilmu kedokteran zaman bahela hingga diakui para ahli kedokteran abad modern. Beliau hidup pada Abad dinasti Abasiah yang merupakan masa keemasan Islam dalam sepanjang sejarah peradaban dunia.

Beliau merupakan seorang dokter ahli, bukan saja mengobati penyakit yang diderita si pasien, melainkan juga belaiu berhasil mengobati mental pasen melalui pendekatan psikologis, hingga si pasen memiliki gairah serta kemauan untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Berbagai tulisan serta buku-buku besar telah mencatat keberahsilanya sebagai seorang interpreneur kedoteran, bukan hanya tersebar di perpus-perpus melainkan berbagai universitas di timur, barat bahkan penjuru dunia.

Dalam buku Ruhuul Islam, karangan Muhammad Al-athiyah Abrasyi, diceritakan ketika Ibnu Sina menjadi seorang Thabib di suatu daerah kampung halamanya, beliau hadapkan dengan seorang pasien yang menderita Malikhulia; yaitu sejenis penyakit langka yang timbul akibat tekanan batin yang diderita sang pasen, hingga pada saat kondisi kritisnya, sang pasen dihinggapi keyakinan bahwa dirinya telah menjadi seekor sapi, berikut tingkah laku, hingga tempat tinggal, memakan makanan dan minuman sapi serta selalu ingin dipisahkan dari manusia dan disatukan dengan sapi.

Keluarga Sang pasen merasa kseulitan mencarikan dokter ahli yang dapat menyembuhkan penyakitnya, terang saja setiap dokter yang didatanginya merasa keberatan mengobati penyakit langka ini. Setelah selang beberapa waktu, keluarganya mencoba mendatangkan si pasen kepada Ibnu Sina, dengan harapan dapat memulihkanya dari penyakit Malikhulia, penyakit aneh yang lama dideritanya.
Setelah sang pasen saling berhadap-hadapan, Ibnu Sina memulai percakapan dengan pasienya bertanya ihwal dirinya;
Bagimana kabarmu? Dan apa yang sedang dideritamu.? Tanya Ibnu sina
Aku baik-baik saja, hanya saja aku telah menjadi sapi, makan makanan sapi dan berprilaku seperti sapi. Jawab sang pasen
Kalau begitu aku akn menyembelihmu..?
Lakukanlah apa yang kamu kehendaki..! tantang si pasen.

Lalu Ibnu Sina mengikat lehernya dengan tali, layaknya binatang yang akan dipenggal lalu dipersiapkan pisau yang tajam sambil diperlihatkan kepadanya bersiap untuk memenggalnya, tanpa ada sedikitpun reaksi sipasen seolah tak bergeming dan pasrah untuk disembelih. Dengan pisau tajam di taganya, Ibnu Sina berbicara kepada si pasen, "yahh...sapinya terlalu kurus, bagaimana saya mau menyembelihnya? sedangkan sapi ini tidak layak untuk disembelih...!"
Tidak...sembelihlah, sapi ini layak untuk disembelih....!, berontak si pasen.
"Tidak, saya tidak akan menyembelihmu kecuali setelah sapinya gemuk dengan daging dan lemak...!", tegas Ibnu Sina
Lalu apa yang harus saya lakukan agar aku gemuk...?
"Agar gemuk,..?! tentunya kamu harus makan makanan yang baik layaknya manusia dan minum layaknya manusia minum..!" terang Ibnu Sina.
Benarkah..jika aku gemuk nanti kamu akan menyembelihku..?, tanya si pasen
"Ya tentu..!", kemuadian Ibnu Sina menyuruh sipasen untuk berjanji agra melakukan apa-apa yang telah disepakatinya.
Beberapa lama kemudian, si pasen mulai makan dan minum layaknya manusia, kesehatan fisiknya berangsur-angsur pulih begitu pula kejiwaanya, hingga akal dan pikiranya kembali kepada semula. Lalu si pasen kemabali ke rumah tempat tinggalnya.

Setelah sekian lama Ibnu Sina, mencoba bertamu ke tempat tinggal si pasen, beliau melihat pasenya telah pulih baik fisik maupun akalnya, tak lama kemudian Ibnu Sina bertanya; "Apakah sapi ini telah gemuk dengan lemak dan daging...?', tanya Ibnu Sina kepada pasenya. "ya tapi kini sapinya telah berakal" jawab si pasen sambil tersenyum.

Menurut beberapa cerita yang diperoleh Ibnu sina dari pemerintah yang mengurusinya serta beberapa dokter yang pernah merawatnya. konon, penyakit si pasen disebabkan tekanan batin karena cinta yang dipendamnya. Hanya saja si pasen tidak berani mengungkapkan siapa gadis yang dicintainya. Setelah mengatahui penyebab pesakitanya, Ibnu Sina meyakini bahwa jalan satu-satunya untuk mengobati batinya yaitu dengan mengetahui kekasih yang didamba-dambakanya serta menghilangkan perasaan dan emosi bathin yang mengikat perasaan hatinya.

Kemudian Ibnu Sina bertekad berusaha agar dapat mengetahui isi hatinya, lalu Ibnu Sina mnyuruhnya (si pasen), meyebutkan kota-kota yang ada di tempat tinggalnya, setelah berhasil dijawab, kemudian beliau bertanya lagi," Apakah kamu tahu nama-nama jalan dan penduduknya ? " ya ..., jawabnya. Lalu dia menyebutkanya satu-persatu tanpa ada yang telewat satupun.

Ketika si pasen menjawab, Ibnu Sina memegang tangan pasen untuk mengetahui denyut nadinya, dan benar saja ketika si pasen menyebutkan salah satu jalan, denyutnya berdetak kencang. Kemudian si pasen menyebutkan rumah-rumah penduduk yang bertempat tinggal di jalan tersebut, Ibnu Sina memeperhatikan denyut nadinya bedetak lebih kencang apalagi ketika dia menyebutkan salah satu rumah yang terdapat di bilangan kecil jalan tersebut, kemudian Ibnu Sina bertanya mengenai gadis-gadis yang bertempat tinggal di rumah tersebut, ketika menyebutkan salah satu gadis yang didambakanya, denyutnya kembali berdetak, perasaanya berdesir dan sedikit berkeringat. Kemudian Ibnu Sina berpaling ke arah sipasen sambil berkata, "bukanya gadis itu kekasihmu?", " iya" jawabnya singkat.

Setelah diketahui ternyata gadis tersebut adalah anak pamanya sendiri dan sipasen sangat-sangat mencintainya, sayangnya dia tidak berani mengemukakan keinginan dan perasaannya kerana takut oleh keluarganya, kamudian setelah semua clear serta diketahui penyebabnya, keluarganya berusaha menikahkan keduanya dan pada akhirnya si pasen sembuh sepeti sediakala tanpa sedikitpun tekanan bathin yang menggangu kehidupanya.

Berikut adalah petikan salah satu trapi pengobatan Ibnu Sina terhadap pasiennya, tentunya masih banyak lagi terapi serta methode-methode pengobatan lainya yang dilakukan serta ditemukan Ibnu Sina yang diakui ataupun tidak methode serta cara-cara trapi pengobatanya telah banyak ditiru, diakui akademisi bahkan menjadi kiblat methode pengobatan serta ilmu kedokteran modern. Walahua'lam